Penulis : Kim Dong Hwa
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Ttama
Tahun : 2012
Tebal : 144 halaman
Sepeda
merah adalah kisah perjalanan seorang tukang pos ysng amat mencintai
pekerjaannya, berkeliling desa Yahwari setiap hari, penuh keselarasan dengan
alam. Tukang pos ini sangat nencintai alam desa dan penduduknya. Ia akrab
dengan setiap penduduk yang selalu menunggunya setiap hari.
menjadi
penulis itu mirip dengan menjadi tukang pos.
Berikut
adalah tulisan Kim Dong Hwa pada halaman depan:
di dekat rumahku ada kantor poskantor pos kecil dengan dinding batu bata merahdan dihiasi tanaman rambat hijauketika lewat di depan kantor pos, sebait puisi muncul di benakkuketika lewat di depan kantor pos, aku serasa mendengar sepotong laguaku selalu senang setiap kali melintas di depannyaaku sering berharap mendapat surataku berandai andai surat itu ditulis di atas kertas putih, dengan tinta birupada saat-saat demikian, kutulis sendiri surat ituaku tidak menuliskan hal-hal besar. aku hanya menanyakan khabardan menambahkan puisi di dalamnyasaat pergi ke kantor pos untuk mengirimkanya, aku merasa begitu kayaseperti di masa kecilku, ketika aku pergi ke bankuntuk menabung uang di dompetkuOktober 2002 di rumah kayuKim Dong Hwa
Ketika
membeli buku ini, saya pikir semacam cerita seperti kisah dalam chicken soup,
atau buku cerita biasa karena masih di plastik dan tidak ada sample (apalagi saya tidak tahu apa itu manhwa). Ternyataaaaa
isinya dibuat dalam bentuk komik / cerita bergambar.... dan saya langsung jatuh
cinta heehe
Kim Dong Hwa menceritakan kisah-kisah pendek dalam keseharian kita, kisah yang mudah
terlewatkan, namun sangat menyentuh. Seperti kisah si sepeda merah yang harus
mengantar surat ke setiap rumah di kota Yahwari. Rumah itu tidak miliki alamat
lengkap, namun mudah dicari karena memiliki makna khusus. yaaa setiap rumah
mewakili hati penghuninya. tempat kita merasa semakin baik dan membaik. Setiap
rumah selalu menjadi tempat paling indah di bawah langit berbintang bagi
penghuninya.
Menyenangkan mengikuti percakapan tukang pos dan laki-laki tua di kota Yetdong:pos : anda tidak merasa terlalu kesepian (karena semua anaknya tinggal di kota)pak tua : tidak apa, memikirkan anak-anakku menyibukkan benakkupos : mereka sering datang?pak tua : kehidupan di kota lebih menekan daripada di pedesaan, lagi pula kalau kita mempunyai istri dan anak tidak mudah untuk berpindah tempat meskipun kita menginginkannya, aku bisa dengan mudah memikirkan mereka karena jiwaku merdeka di pegununganpos : sayang istri anda tidak ada lagi di dunia inipak tua : aku tidak sering memikirkannya karena dia sudah pergi pada waktunya, ketika memandang foto-foto, aku memikirkan masing-masing anakku 10 kali, memikirkan istriku hanya sekali. aku tidak dapat melakukan apa apa untuknya karena dia sudah tiada, tapi setiap kali memikirkannya aku meletakkan sebutir batu. beginilah hasilnya(dan tukang pos melihat ada banyak sekali gundukan batu mirip pagoda di depan rumah pak tua, berarti sesering itu ia memikirkan istrinya, dan lebih sering lagi memikirkan anak-anaknya)
Kim Dong Hwa mengingatkan kita akan 'kebodohan' seorang ayah melaui cerita kaus kaki. Seorang
ayah akan memilih kaus kaki terjelek untuk dirinya, yang paling baru untuk si
sulung, dan paling bagus untuk si bungsu. Hati mulia sang ayah hanya ingin yang
terbaik bagi anak-anaknya. Sang tukang pos bersahabat dengan kondektur kereta yang setiap hari melewati desa tersebut, karena baginya kondektur kereta membawa fisik manusia, sedangkan tukang pos membawa hati manusia, jadi tugas mereka mirip satu sama lain :)
Saat ia bosan dengan tugasnya, si tukang pos harus kreatif mencari variasi kerja yang membuatnya tetap bahagia. Jika daun terbang ke arah kiri, maka ia mengirim surat ke rumah di sebelah kiri dulu, jika kemudian kodok yang ditemuinya belok ke arah kanan, maka ia mengirim surat ke arah kanan. Tapi bila tidak ada yang bisa menjadi inspirasi untuk menunjukkan jalan, maka ia akan melempar sepatunya. Kalau sepatunya menghadap keatas, maka ia belok kiri, bila sepatunya jatuh menghadap ke bawah, maka ia belok kanan :)
Tak jarang, ia harus melewati sungai dan hutan untuk mengantar surat ke sebuah kuil di ujung hutan yang lebat. Si tukang pos tetap merasa gembira, apalagi ia disambut dengan teh hangat dari biksu dengan wajah damai, dan iapun bisa menghormati Budha sambil pulang.
Si tukang pos rela mengantar apapun dan kemanapun yang diinginkan warga desa, termasuk mengirimkan hasil panen kepada para kerabat warga di desa tetangga. Karena baginya, itu sama saja dengan mengirimkan kasih sayang :)
Dalam perjalanannya ia menemui seorang nenek yang memperhatikan wajahnya di cermin. Si tukang pos menjadi bingung untuk apa si nenek sering berkaca. Tapi si nenek berucap "Ketika menua, kita kehilangan ingatan, karena itulah kita menggambar semua jejak itu di wajah-wajah kita, agar tidak melupakan apa-apa. Tidak akan lucu jika kita telah mengetahuinya terlebih dulu. Kau akan menggambarnya satu per satu".
Saat ia bosan dengan tugasnya, si tukang pos harus kreatif mencari variasi kerja yang membuatnya tetap bahagia. Jika daun terbang ke arah kiri, maka ia mengirim surat ke rumah di sebelah kiri dulu, jika kemudian kodok yang ditemuinya belok ke arah kanan, maka ia mengirim surat ke arah kanan. Tapi bila tidak ada yang bisa menjadi inspirasi untuk menunjukkan jalan, maka ia akan melempar sepatunya. Kalau sepatunya menghadap keatas, maka ia belok kiri, bila sepatunya jatuh menghadap ke bawah, maka ia belok kanan :)
Tak jarang, ia harus melewati sungai dan hutan untuk mengantar surat ke sebuah kuil di ujung hutan yang lebat. Si tukang pos tetap merasa gembira, apalagi ia disambut dengan teh hangat dari biksu dengan wajah damai, dan iapun bisa menghormati Budha sambil pulang.
Si tukang pos rela mengantar apapun dan kemanapun yang diinginkan warga desa, termasuk mengirimkan hasil panen kepada para kerabat warga di desa tetangga. Karena baginya, itu sama saja dengan mengirimkan kasih sayang :)
Dalam perjalanannya ia menemui seorang nenek yang memperhatikan wajahnya di cermin. Si tukang pos menjadi bingung untuk apa si nenek sering berkaca. Tapi si nenek berucap "Ketika menua, kita kehilangan ingatan, karena itulah kita menggambar semua jejak itu di wajah-wajah kita, agar tidak melupakan apa-apa. Tidak akan lucu jika kita telah mengetahuinya terlebih dulu. Kau akan menggambarnya satu per satu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar