Selasa, Januari 22, 2013

LALITA

Judul          : Lalita
Penulis      : Ayu Utami
Penerbit    : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbitan     : 20 September 2012
Halaman   : 256 Halaman
Genre        : Fiksi

Lalita merupakan novel kedua dari Seri Bilangan Fu. Sebelumnya ada novel Manjali dan Cakrabirawa. Lalita mempunyai cover yang unik yaitu bergambar biji dari sebuah tanaman, dilukis sendiri oleh penulis, didedikasikan untuk para pelukis botani. Novel Lalita sangat menarik karena tidak hanya menceritakan kisah percintaan Yuda, Parang jati, Marja dan Lalita, sekaligus  mampu memberikan pengetahuan tentang candi borubudur bagi pembaca. Marja dan Parang Jati itu saling menyukai, tapi perasaan itu tak bisa tersalurkan karena Marja sudah punya kekasih. Dan, hubungan itu makin rumit karena Sandi Yuda, kekasih Marja, adalah sahabat baik Parang Jati. Novel ini mengangkat dan membesarkan Borobudur dengan segala latar kisah dan sejarahnya pada pemahaman dan penghargaan yang lebih dari sekedar sekumpulan arca (batu) yang ditata apik sempurna, yang termasuk dalam keajaiban dunia hasil karya nenek moyang kita, Indonesia. Memadukan legenda, pengenalan warisan budaya Nusantara, logika atau jalan berpikir, kimia-fisik sekaligus hubungan unik antar manusia dalam alur cerita yang jelas pemisahannya, menjadi suatu misteri.
Bagian Indigo menceritakan tentang pertemuan Yuda dengan seorang wanita setengah baya, yaitu Lalita yang dikenalnya melalui Oscar, seorang kurator lukisan.  Lalita adalah seorang kurator lukisan yang sangat tertarik dalam mempelajari sejarah Candi Borobudur. Perlu sedikit kedewasaan berpikir dalam membaca dan memahami novel ini, karena banyak menceritakan tentang hubungan sex secara terbuka, meskipun ada sedikit perasaan yang kurang nyaman dengan bahasa yang 'sedikit vulgar'....ya sedikit...karena dalam buku-bukunya terdahulu Ayu Utami menggunakan bahasa yang lebih vulgar lagi. Misalnya bagaimana Ayu Utami menggambarkan sensasi botol sampanye sewaktu bercinta dijelaskan dengan nakal tapi cukup berdasar dalam “axis mundi kecil”. Ayu Utami memberi pemahaman kepada pembaca bahwa jiwa manusia memiliki bagan konsentris, sehinga mereka yang tidak mengetahui dimana koordinat nol-nya, tidak akan bisa memetakan diri. Demikian juga bagi mereka yang menyangkal koordinat nol-nya seperti Lalita, mereka cenderung rapuh. Meskipun agak bingung, namun dalam pemahaman saya, koordinat nol yang dimaksud mungkin keseimbangan lahir dan bathin.
Parang Jati kebingungan mencari Sandi Yuda. Jati lalu diperintahkan ayah angkatnya yang juga guru spiritual, Suhu Budi, untuk mengunjungi Borobudur. Maka, Jati mengajak Marja ke candi itu, menelusuri relief-reliefnya, sambil bercerita panjang lebar soal ajaran Budha. Bagi saya pribadi, apa yang terjadi di antara Marja dan Parang Jati di Borobudur ketika Parang Jati akhirnya mencium wajah Marja di tempat yang sangat spritual: Candi Borobudur, meskipun berlangsung singkat, apalagi yang dilakukan sambil memejamkan mata, adalah suatu keindahan yang tidak dipaksakan. Tidak perlu memang menggambarkan Parang Jati dan Marja sebagai manusia sempurna yang selalu bisa mengendalikan diri, mereka mewakili jiwa muda yang tidak sempurna, sesekali terhanyut oleh perasaan yang manusiawi. Marja mendapatkan momen-momen untuk memenangkan sisi jahat dirinya untuk membalas perselingkuhan Yuda. Dan itu adalah hal yang paling normal saya rasakan dalam novel ini :)
Saya agak sulit mempercayai kisah dalam novel Ayu Utami ini, meskipun memang novel adalah khayalan penciptanya, tapi terasa agak dipaksakan ketika Ayu Utami mencampur begitu banyak wacana mulai dari psikoanalisa Freud, spiritualisme Tibet, misteri Drakula, keagungan Borobudur, sampai agen rahasia Cina.
Penculikan Sandi Yuda, juga penyerangan atas tokoh Lalita, hanya untuk mencari buku indigo yang menjadi misteri, ternyata dilakukan oleh kakak Lalita hanya untuk mendapatkan uang, karena peninggalan kakek mereka itu sangat bernilai sejarah yang tinggi. Buku itu sendiri jatuh ke tangan Marja dan mengajak Parang Jati dan Yuda ke Borobudur untuk menceritakan rahasia Buku Indigo.
 Dia yang tidak bisa melihat bayang-bayang sediri, dia tidak akan mendapat pembebasan.
 Barangkali manusia tidak punya kapasitas untuk mengampuni. Yang bisa dilakukan hanyalah berdamai.

Tidak ada komentar: