Sabtu, Maret 31, 2012

DARMAGANDHUL

Judul buku : DARMAGANDHUL Kisah Kehancuran Jawa dan ajaran – ajaran rahasia.
Penulis : DAMAR SHASHANGKA
Penerbit : DOLPHIN
Tahun Terbit : 2011


Sebuah buku sejarah yang diterjemahkan oleh penulis dari Serat Darmagandhul dengan bahasa yang disesuaikan dengan jaman. Semenjak terbit, Dharmagandhul telah menuai kontroversi , karena ceritanya dicintai kaum Kejawen dan Islam abangan tapi dibencikaum Islam radikal. Kitab ini hadir dalam versi prosa dan tembang, yang sudah sangat jarang ditemukan. Yang menjadi keistimewaan buku ini adalah penulis memberikan ulasan tentang runtuhnya Majapahit serta ajaran Islam, Buda dan Kejawen, demi mencari titik temu, intisari spiritual dari tiga kepercayaan tersebut.

MANUSIA TIDAK MEMILIKI KEKUATAN APAPUN. MANUSIA SEKEDAR MENJALANI. BUDI / KESADARANLAH YANG MENGGERAKKANNYA

Menceritakan awal mula orang Jawa meninggalkan agama Buda, lalu berganti agama Rasul. Sesungguhnya Majapahit bernama asli Majalengka, sedangkan nama Majapahit itu hanyalah perlambang. Yang bertahta terakhir adalah Prabu Brawijaya. Prabu yang tergila-gila kepada Putri Campa yang beragama Islam. Setiap memadu asmara sang Putri selalu bercerita tentang keluhuran agama Islam, sehingga hati sang Prabu tertarik pada agama Islam.

Keponakan sang Putri yang bernama Sayid Rakhmat berkunjung ke Majalengka, dan memohon kepada sang Prabu agar diijinkan menyebarkan ajaran Rasul, dan sang Prabu mengijinkan. Sayid kemudian menetap di daerah Ampel, yang sekarang masuk wilayah kecamatan Semampir, Surabaya. Lama kelamaan banyak ulama yang dating dan tinggal di pesisir utara, penduduk Jawa lantas banyak yang memeluk agama Islam. Padahal agama Buda telah ada di tanah Jawa selama kurang lebih seribu tahun, dan pengikutnya menyembah kesadaran sejati tanpa paksaan siapa pun (Budi Hawa).

Prabu Brawijaya memiliki seorang putra hasil perkawinannya dengan seorang putri Cina yang lahir di Palembang, namanya Raden Patah, beragama Islam dan menikah dengan putri Ngampel, cucu Sunan Ampel. Diangkat sang Prabu menjadi Bupati Demak, kelak sang putra inilah yang akan menghancurkan kerajaan ayahnya, Majalengka (Majapahit).

Saat Sunan Benang hendak mengunjungi Kediri dan berniat mencari air bersih untuk wudhu, ternyata air sungai Brantas banjir dan kotor, sehinga muridnya diminta mencari ke desa terdekat. Di jalan, muridnya melihat seorang gadis yang sedang menenun. Sang gadis kaget dan menyangka murid ini berniat jelek padanya, sehingga permintaan murid Sunan untuk meminta air bersih dijawab dengan kasar. Sunan sangat marah mendapat laporan muridnya, sehingga bersumpah bahwa penduduk wilayah itu akan sulit mencari air dan setiap gadis serta perjaka yang tinggal disana tidak akan bisa menikah sebelum usianya tua.

Hal ini menimbulkan kemarahan jin di wilayah Tanjung Tani karena aliran sungai merusak desa, hutan, lading dan sawah yang terlanggar. Hal ini disampaikan kepada raja mereka, yaitu Butalocaya yang berada di kaki Gunung Wilis.  Butalocaya dahulunya (semasa masih menjadi manusia) adalah patih Prabu Jayabaya yang bernama Kiai Daka. Saat Prabu Jayabaya moksa (bersatu dengan Tuhan), putrinya Ni Mas Ratu Pagedhogan, Butalocaya dan Kiai Tunggul Wulung ikut berpindah alam. Putrinya menjadi ratu makhluk halus di laut selatan, sedangkan Kiai Tunggu Wulung menjadi raja makhluk halus di Gunung Kelud.

Butalocaya sangat marah mendengar perbuatan Sunan Benang, lalu mencegat  perjalanannya. Beberapa teguran Butalocaya kepada Sunan Benang yang layak diingat adalah :

“JANGANLAH KARENA MERASA MENJADI KEKASIH TUHAN, MERASA BANYAK TEMAN MALAIKAT, LANTAS BERBUAT SEENAKNYA, MENGANIAYA MEREKA YANG TANPA DOSA, INILAH JALAN MENUJU CELAKA”.

ORANG JAWA TAHU ARCA TIDAK MEMILIKI DAYA KUASA APAPUN. MENGAPA ARCA INI DILAYANI DENGAN KEMENYAN DAN SAJEN ? AGAR SEMUA MAKHLUK HALUS TIDAK BERTEMPAT TINGGAL SEMBARANGAN  DI ATAS TANAH DAN DI POHON. SEBAB TANAH DAN POHON BISA MENGHASILKAN SESUATU.

“SELURUH MANUSIA SEYOGYANYA MENGETAHUI RUMAH – ALLAHNYA SENDIRI. TUBUH MANUSIA INILAH SESUNGGUHNYA BUATAN TUHAN SENDIRI YANG HARUS DIJAGA BETUL-BETUL.

Selain Butalocaya, Prabu Brawijaya juga sangat marah akan perbuatan Sunan Benang sehingga mengeluarkan perintah untuk mengusir semua ulama dari Arab kecuali di daeran Ampel dan Demak. Akhirnya Sunan Benang dan Sunan Giri melarikan diri ke Demak. Mereka menghasut Adipati Demak, yaitu Raden Patah untuk menyerang ayahnya sendiri, Prabu Brawijaya dan menghancurkan kerajaan Majalengka, kemudian mengangkat sang Pangeran menjadi Raja Baru.

 Sang Prabu sangat terkejut dan heran dengan perilaku ulama dan putranya yang tidak ingat budi baik sang Prabu, malah membalas dengan hal yang tidak sepatutnya. Dalam kemarahannya, Sang Prabu mengeluarkan kutuk “ semoga terbalaskan kesedihan yang aku alami ini, semoga orang Islam Jawa kelak terbalik dalam menjalankan agamanya, berubah menjadi orang berkuncir (maksudnya berkuncir dua, disisi lain kelihatan alim, tapi disisi lain materialistic, gampang terpengaruh hal-hal dunia, meremehkan spiritualitas, hanya kedok belaka untuk diperdagangkan, spiritualitas ditukar dengan materi, mempunyai kepribadian yang bertolak belakang).

Sang Prabu meloloskan diri dari kerajaan diiringi dua Patih yang setia, yaitu Sabda Palon dan Naya Genggong.

GUSTI ALLAH TIDAK AKAN MENYIKSA MANUSIA KAFIR YANG TAK BERSALAH DAN TAK AKAN MEMBERIKAN PAHALA KEPADA ORANG ISLAM YANG PERBUATANNYA TIDAK BENAR. HANYA PERBUATANNYA YANG AKAN DIADILI SECARA ADIL, BUKAN KARENA AGAMANYA.

Sunan Kalijaga berusaha melacak jejak sang Prabu, Perjalanan sang Prabu sendiri sudah sampai di Blambangan. Niatnya adalah meminta sang Prabu kembali ke Majapahit, tapi sang Prabu berniat untuk menyeberang ke Bali, menggalang kekuatan untuk menghancurkan Demak. Karena tidak bisa mencegah niat sang Prabu, Sunan Kalijaga menyembah kaki sang Prabu dan meminta sang Prabu untuk membunuhnya dengan kerisnya sendiri, daripada hidup melihat perang antara Ayah dan anak. Sunan meminta sang Prabu untuk berganti agama Rasul agar tidak disia-siakan putranya. Banyak yang dihaturkan / diajarkan Sunan Kalijaga, sehingga akhirnya sang Prabu tertarik dan berkenan untuk memeluk agama Islam.

Sang Prabu juga meminta dua abdinya, yaitu Sabda Palon dan Naya Genggong untuk memeluk agama Islam, tapi mereka menolak, dan berkata :
“HAMBA TIDAK TEGA MELIHAT PERILAKU MEREKA YANG SIA-SIA, SUKA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI SEMUA YANG BERBADAN, MEMBUAT TAK BERGUNA TUJUAN MOKSA HAMBA KELAK. LEBIH BAIK TIDAK MENGURUSI TETANGGA, PERBUATAN MENGHAKIMI AGAMA LAIN HANYA AKAN MENUNJUKKAN RENDAHNYA PEMAHAMAN DIRI”
  

1 komentar:

Unknown mengatakan...

thank you...just new be blogger, hope you enjoyed to read...;)