Penulis : DAMAR SHASHANGKA
Penerbit : DOLPHIN
Tahun Terbit : 2011
Sebuah buku sejarah yang diterjemahkan oleh penulis
dari Serat Darmagandhul dengan bahasa yang disesuaikan dengan jaman. Semenjak
terbit, Dharmagandhul telah menuai kontroversi , karena ceritanya dicintai kaum
Kejawen dan Islam abangan tapi dibencikaum Islam radikal. Kitab ini hadir dalam
versi prosa dan tembang, yang sudah sangat jarang ditemukan. Yang menjadi
keistimewaan buku ini adalah penulis memberikan ulasan tentang runtuhnya
Majapahit serta ajaran Islam, Buda dan Kejawen, demi mencari titik temu,
intisari spiritual dari tiga kepercayaan tersebut.
MANUSIA TIDAK MEMILIKI KEKUATAN APAPUN. MANUSIA
SEKEDAR MENJALANI. BUDI / KESADARANLAH YANG MENGGERAKKANNYA
Menceritakan awal mula orang Jawa meninggalkan
agama Buda, lalu berganti agama Rasul. Sesungguhnya Majapahit bernama asli
Majalengka, sedangkan nama Majapahit itu hanyalah perlambang. Yang bertahta terakhir
adalah Prabu Brawijaya. Prabu yang tergila-gila kepada Putri Campa yang
beragama Islam. Setiap memadu asmara sang Putri selalu bercerita tentang
keluhuran agama Islam, sehingga hati sang Prabu tertarik pada agama Islam.
Keponakan sang Putri yang bernama Sayid Rakhmat
berkunjung ke Majalengka, dan memohon kepada sang Prabu agar diijinkan
menyebarkan ajaran Rasul, dan sang Prabu mengijinkan. Sayid kemudian menetap di
daerah Ampel, yang sekarang masuk wilayah kecamatan Semampir, Surabaya. Lama
kelamaan banyak ulama yang dating dan tinggal di pesisir utara, penduduk Jawa
lantas banyak yang memeluk agama Islam. Padahal agama Buda telah ada di tanah
Jawa selama kurang lebih seribu tahun, dan pengikutnya menyembah kesadaran
sejati tanpa paksaan siapa pun (Budi Hawa).
Prabu Brawijaya memiliki seorang putra hasil
perkawinannya dengan seorang putri Cina yang lahir di Palembang, namanya Raden
Patah, beragama Islam dan menikah dengan putri Ngampel, cucu Sunan Ampel.
Diangkat sang Prabu menjadi Bupati Demak, kelak sang putra inilah yang akan
menghancurkan kerajaan ayahnya, Majalengka (Majapahit).
Saat Sunan Benang hendak mengunjungi Kediri dan
berniat mencari air bersih untuk wudhu, ternyata air sungai Brantas banjir dan
kotor, sehinga muridnya diminta mencari ke desa terdekat. Di jalan, muridnya
melihat seorang gadis yang sedang menenun. Sang gadis kaget dan menyangka murid
ini berniat jelek padanya, sehingga permintaan murid Sunan untuk meminta air
bersih dijawab dengan kasar. Sunan sangat marah mendapat laporan muridnya,
sehingga bersumpah bahwa penduduk wilayah itu akan sulit mencari air dan setiap
gadis serta perjaka yang tinggal disana tidak akan bisa menikah sebelum usianya
tua.
Hal ini menimbulkan kemarahan jin di wilayah
Tanjung Tani karena aliran sungai merusak desa, hutan, lading dan sawah yang
terlanggar. Hal ini disampaikan kepada raja mereka, yaitu Butalocaya yang
berada di kaki Gunung Wilis. Butalocaya
dahulunya (semasa masih menjadi manusia) adalah patih Prabu Jayabaya yang
bernama Kiai Daka. Saat Prabu Jayabaya moksa (bersatu dengan Tuhan), putrinya
Ni Mas Ratu Pagedhogan, Butalocaya dan Kiai Tunggul Wulung ikut berpindah alam.
Putrinya menjadi ratu makhluk halus di laut selatan, sedangkan Kiai Tunggu
Wulung menjadi raja makhluk halus di Gunung Kelud.
Butalocaya sangat marah mendengar perbuatan Sunan
Benang, lalu mencegat perjalanannya.
Beberapa teguran Butalocaya kepada Sunan Benang yang layak diingat adalah :
“JANGANLAH KARENA MERASA MENJADI KEKASIH TUHAN,
MERASA BANYAK TEMAN MALAIKAT, LANTAS BERBUAT SEENAKNYA, MENGANIAYA MEREKA YANG
TANPA DOSA, INILAH JALAN MENUJU CELAKA”.
ORANG JAWA TAHU ARCA TIDAK MEMILIKI DAYA KUASA
APAPUN. MENGAPA ARCA INI DILAYANI DENGAN KEMENYAN DAN SAJEN ? AGAR SEMUA
MAKHLUK HALUS TIDAK BERTEMPAT TINGGAL SEMBARANGAN DI ATAS TANAH DAN DI POHON. SEBAB TANAH DAN
POHON BISA MENGHASILKAN SESUATU.
“SELURUH MANUSIA SEYOGYANYA MENGETAHUI RUMAH –
ALLAHNYA SENDIRI. TUBUH MANUSIA INILAH SESUNGGUHNYA BUATAN TUHAN SENDIRI YANG
HARUS DIJAGA BETUL-BETUL.
Selain Butalocaya, Prabu Brawijaya juga sangat
marah akan perbuatan Sunan Benang sehingga mengeluarkan perintah untuk mengusir
semua ulama dari Arab kecuali di daeran Ampel dan Demak. Akhirnya Sunan Benang
dan Sunan Giri melarikan diri ke Demak. Mereka menghasut Adipati Demak, yaitu
Raden Patah untuk menyerang ayahnya sendiri, Prabu Brawijaya dan menghancurkan
kerajaan Majalengka, kemudian mengangkat sang Pangeran menjadi Raja Baru.
Sang Prabu
sangat terkejut dan heran dengan perilaku ulama dan putranya yang tidak ingat
budi baik sang Prabu, malah membalas dengan hal yang tidak sepatutnya. Dalam
kemarahannya, Sang Prabu mengeluarkan kutuk “ semoga terbalaskan kesedihan yang
aku alami ini, semoga orang Islam Jawa kelak terbalik dalam menjalankan
agamanya, berubah menjadi orang berkuncir (maksudnya berkuncir dua, disisi lain
kelihatan alim, tapi disisi lain materialistic, gampang terpengaruh hal-hal
dunia, meremehkan spiritualitas, hanya kedok belaka untuk diperdagangkan,
spiritualitas ditukar dengan materi, mempunyai kepribadian yang bertolak
belakang).
Sang Prabu meloloskan diri dari kerajaan diiringi
dua Patih yang setia, yaitu Sabda Palon dan Naya Genggong.
GUSTI ALLAH TIDAK AKAN MENYIKSA MANUSIA KAFIR YANG
TAK BERSALAH DAN TAK AKAN MEMBERIKAN PAHALA KEPADA ORANG ISLAM YANG PERBUATANNYA
TIDAK BENAR. HANYA PERBUATANNYA YANG AKAN DIADILI SECARA ADIL, BUKAN KARENA
AGAMANYA.
Sunan Kalijaga berusaha melacak jejak sang Prabu,
Perjalanan sang Prabu sendiri sudah sampai di Blambangan. Niatnya adalah
meminta sang Prabu kembali ke Majapahit, tapi sang Prabu berniat untuk
menyeberang ke Bali, menggalang kekuatan untuk menghancurkan Demak. Karena
tidak bisa mencegah niat sang Prabu, Sunan Kalijaga menyembah kaki sang Prabu
dan meminta sang Prabu untuk membunuhnya dengan kerisnya sendiri, daripada
hidup melihat perang antara Ayah dan anak. Sunan meminta sang Prabu untuk
berganti agama Rasul agar tidak disia-siakan putranya. Banyak yang dihaturkan /
diajarkan Sunan Kalijaga, sehingga akhirnya sang Prabu tertarik dan berkenan
untuk memeluk agama Islam.
Sang Prabu juga meminta dua abdinya, yaitu Sabda
Palon dan Naya Genggong untuk memeluk agama Islam, tapi mereka menolak, dan
berkata :
“HAMBA TIDAK TEGA MELIHAT PERILAKU MEREKA YANG
SIA-SIA, SUKA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI SEMUA YANG BERBADAN, MEMBUAT TAK BERGUNA
TUJUAN MOKSA HAMBA KELAK. LEBIH BAIK TIDAK MENGURUSI TETANGGA, PERBUATAN
MENGHAKIMI AGAMA LAIN HANYA AKAN MENUNJUKKAN RENDAHNYA PEMAHAMAN DIRI”